Menyingkap Jejak Wabah Penyakit pada Peradaban Mesir Kuno dan Bagaimana Mereka Mengatasinya

Pada peradaban Mesir Kuno, wabah penyakit juga sudah menjadi beragam. Lantas, bagaimana orang pada zaman itu mengatasinya?

Wabah penyakit pada peradaban Mesir Kuno (Wikipedia/Wikimedia Commons)

Peradaban Mesir Kuno dulunya berada di sebelah timur laut benua Afrika, tepatnya berpusat di daerah hilir Sungai Nil.

Peradaban Mesir Kuno dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar tahun 3150 SM.

Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Peradaban ini didasari atas pengendalian keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia di bawah pengawasan sosok firaun.

Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui; teknologi tembikar glasir bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; dan lainnya.

Meski peradaban Mesir Kuno saat itu cukup maju, tak lantas menjadikannya terbebas dari wabah penyakit.

Dari periode ke periode, ada wabah penyakit yang berbeda pada peradaban Mesir Kuno.

Melansir Ancient Origins, bukti langsung mengenai epidemi di Mesir kuno berasal dari bukti kerangka dan DNA yang diperoleh dari mumi-mumi yang ditemukan.

Misalnya, DNA yang ditemukan dari mumi firaun muda Tutankhamun (1332–1323 SM) menghasilkan penemuan bahwa ia menderita malaria, bersama dengan beberapa mumi Kerajaan Baru lainnya (sekitar 1800 SM).


Selain penyakit malaria pada Tutankhamun, penyakit lainnya juga ditemukan pada periode yang berbeda.

Misalnya saja bukti kerangka dan DNA yang ditemukan di kota Abydos yang menunjukkan bahwa satu dari empat orang mungkin menderita tuberkulosis. Mumi Ramses V (sekitar tahun 1149–1145 SM) memiliki bekas luka yang menandakan penyakit cacar. Istri Mentuhotep II (sekitar tahun 2000 SM) dikuburkan secara tergesa-gesa di 'kuburan massal', menandakan telah terjadi pandemi. Mumi dari dua firaun, Siptah (1197–1191 SM) dan Khnum-Nekht (sekitar 1800 SM), ditemukan dengan cacat kaki equinus yang merupakan ciri dari penyakit virus polio.

Amenhotep III adalah firaun kesembilan dari dinasti ke-18, dan memerintah sekitar tahun 1388–1351 SM.

Ada beberapa alasan para ahli berpendapat bahwa pemerintahannya ditandai dengan wabah penyakit yang mematikan. Misalnya, dua ukiran terpisah dari masa ini menggambarkan seorang pendeta dan pasangan kerajaan yang terkena penyakit polio.

Patung dewi penyakit dan kesehatan berkepala singa, Sekhmet, juga meningkat secara signifikan, menunjukkan ketergantungan pada perlindungan ilahi.

Tanda lain dari potensi wabah penyakit besar muncul dalam bentuk awal kasus karantina, dimana Amenhotep III memindahkan istananya ke lokasi yang lebih terpencil di Malqata. Hal ini semakin didukung dengan pembakaran kuburan pekerja di dekat Thebes.

Selama periode ini, benda-benda untuk pemakaman tidak semewah sebelumnya dan makam yang dibangun juga tidak terlalu rumit seperti sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada lebih banyak penguburan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Penguburan ini tidak berkaitan perang karena ini adalah masa yang sangat damai.

Adanya penyakit juga tampaknya menyebabkan perubahan kebiasaan pada masyarakat Mesir Kuno saat itu.

Putra Amenhotep – Akhenaten (yang juga ayah Tutankhamun) – meninggalkan dewa-dewa lama Mesir. Dalam salah satu kasus monoteisme paling awal, Akhenaten menjadikan penyembahan Matahari sebagai agama resmi negara.


Beberapa peneliti berpendapat hilangnya kepercayaan Akhenaten secara dramatis mungkin disebabkan oleh penyakit mematikan yang ia saksikan selama masa kanak-kanaknya dan pada masa pemerintahannya, dengan beberapa anak dan istrinya meninggal karena penyakit tersebut. Namun belum ditemukan bukti jelas mengenai peran penyakit dalam membentuk teologinya.

Juga tidak ada bukti DNA langsung mengenai wabah yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya, Amenhotep III. Hanya ada deskripsi satu dalam surat Amenhotep III dan Akhenaten yang dipertukarkan dengan orang Babilonia.

Walaupun banyak epidemi kuno yang disebut sebagai 'wabah', tidak dapat dipastikan apakah wabah di Mesir kuno memang disebabkan oleh Yersinia pestis, bakteri yang bertanggung jawab atas pandemi penyakit pes seperti Kematian Hitam di Eropa (1347-1351). 

Meskipun demikian, para peneliti telah mengonfirmasi bahwa tikus Nil, yang tersebar luas pada masa Firaun, mampu membawa infeksi Yersinia.

Sama seperti pandemi modern, faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, sanitasi, kepadatan penduduk, dan mobilisasi untuk berperang juga mempengaruhi penyebaran penyakit di Mesir kuno.

Dalam beberapa hal, pengobatan Mesir tergolong maju pada masanya. Meskipun wabah ini terjadi jauh sebelum ditemukannya antibiotik atau vaksin, ada beberapa bukti tentang tindakan kesehatan masyarakat seperti pembakaran kota dan karantina penduduk. Hal ini menunjukkan adanya pemahaman dasar tentang bagaimana penyakit menyebar.

Penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme akan dipandang sebagai penyakit supernatural, atau sebagai kerusakan pada udara. Hal ini serupa dengan penjelasan lain yang ada di berbagai belahan dunia, sebelum teori kuman dipopulerkan pada abad ke-19.

0 Comments